Dari kecil, aku diajari buat engga ngomong sama orang asing.
Dan sekarang, berkat didikan macam itu, aku jadi males buat
ngomong sama stranger. Oke emang
bener malu bertanya sesat dijalan, tapi aku lebih milih buat engga ngomong aja
sama stranger. Cuma kalo stranger-nya
hot and interesting, bisanya cuma ngeliat aja, gamau ngomong.
Sedikit info: Melihat itu hipernim, turunannya ada melotot,
mengintip, menengok, menatap, melirik, meninjau.
Tapi mungkin lebih tepatnya kalo aku itu seringnya menatap
kali ya. Menatap itu kan dari mata ke mata, kalo yang begini aku sering lakuin malah. Apalagi sama stranger, sering banget deh yang namanya menatap.
Ga semua stranger juga yang bakalan ditatap. Cuman beberapa
aja, itu aja syarat utama buat ditatap adalah objek tatapan harus menarik,
regardless objek itu cantik atau engga. Semenjak aku ini sedikit introvert,
hampir sebagian besar aku anggap sebagai stranger. Dan di kampus, hanya sedikit
stranger yang menarik. Hanya bisa dihitung dengan jumlah jari ketika suit
gajah-semut-manusia.
Tidak ada yang lebih menyenangkan selain menatap stranger
itu…
Perempuan itu, aku bahkan tidak tahu apakah dia kuliah di
jurusan yang sama denganku di jurusan Teknik Hasil Pangan. Aku tidak tahu siapa
namanya. Temannya memanggil dia dengan nama ayunda. Tapi apalah sebuah nama
kalau aku hanya bisa menatapnya.
Ayunda ini rambutnya panjang, cukup panjang untuk diikat
menjadi dua seperti anak kecil. Dia suka sekali memakai baju yang lengannya
panjang, dan tertutup. Tidak seperti adik kelasku yang memakai baju tanpa
lengan, dengan kerah yang sangat rendah dan celana yang amat ketat, ayunda
lebih sederhana dari itu.
Tak pernah juga aku sekalipun melihat dia mengenakan wedges,
yang sebagian besar kaum hawa pasti memilikinya meskipun hanya sepasang. Sepatu
ketsnya unik, jarang ada yang masih memakai sepatu seperti itu. Langkahnya lembut,
tidak tergesa, bahkan jika ayunda berlari diapun tidak akan membuat suara yang
berarti.
Kami hanya pernah saling menatap dari kejauhan…
Dalam hati aku sering berpikir, apakah ayunda sadar ketika
aku menatapnya dari jauh? Dia terlihat sangat cuek dengan sekitarnya. Dia seringkali
bercanda dengan temannya, berkumpul, dan seringnya membuat gaduh. Yang jelas,
tawanya sangat lepas, tanpa beban. Aku sampai hafal mimik wajah ayunda jika dia
tertawa, dia sungguh ‘menarik’.
Pernah kami berpapasan, aku sudah melihatnya dari kejauhan
mengarah ke ruangan yang ada di belakangku. Mungkin dia ada kelas, pikirku. Waktu
kami berpapasan, aku mencoba untuk tidak menyeringai, seperti yang biasa aku lakukan jika sedang sendirian
dan merasa senang. Ayunda ternyata membalas senyumku, senyumnya sungguh
otentik, asli, original.
Senyumnya itu, apakah dia tersenyum kepadaku?
Atau dia hanya tersenyum ke orang lain? Atau mungkin ke
pacarnya? Jadi dia punya pacar?
Aku terus berjalan ke tempat yang aku tuju; lobi kampus. Karena
sudah sore, aku suka lobi kampus karena lobi itu tidak akan ada banyak orang. Dan
aku terus bertanya-tanya tentang kejadian barusan. Senyuman ayunda itu untuk
siapa? Apakah senyumannya untuk aku? Apakah senyumannya akan terulang?
Seperti yang dikatakan dalang kesukaanku, tiap hal didunia
ini bersampingan. Bisa saja aku senang karena senyuman itu, tapi didalam hati
aku bersedih memikirkan apakah senyuman itu akan aku lihat lagi. Didalam senyuman
ayunda itu, ada kebahagiaan dan kesedihan.
Dan mulailah aku menatap ayunda lebih sering, berharap
melihat senyumannya lagi yang entah ditujukan untukku, pacarnya, orang lain,
atau senyumnya ditujukan ke angin yang berlalu karena angin itu membawa kesejukan
di sore yang panas itu. Apakah baiknya aku bertanya pada angin?
0 komentar:
Post a Comment