Searching...
January 19, 2012

Why is it so hard to write?


Menulis adalah kegiatan yang menyenangkan. Hal ini menjadi pegangan oleh aku dan beberapa teman-teman di kampus. Aku mencoba menuangkan pikiran ke dalam bentuk tulisan, apapun bentuk tulisannya. Memang sih menulis itu tidak memberikan rasa sakit bila kita tidak menunaikan kegiatan ini, sering pula terlupakan kegiatan ini. Sekali lagi, menulis kami coba jadikan sebagai kegiatan yang menyenangan.
Bagi aku, menulis selalu dianalogikan dengan berbicara. Keduanya sama-sama kegiatan komunikasi dengan orang lain. Ketika bisa berjam-jam mengobrol dengan lawan bicara, bandingkan dengan kegiatan menulis. Kita dididik untuk menulis HANYA JIKA kita mengerjakan tugas, PR, dan hal akademik lainnya. Apakah tabu untuk menulis dalam level ini?
Kita selalu terpaut kegiatan akademis jika akan, tengah, atau telah menulis. Essay tentang feminism, kritik pemerintah dalam mata kuliah ilmu Politik, PR Mengarang, semuanya termasuk kegiatan menulis. Kesalahan paling fatal adalah ketika kita BAHKAN tidak pernah mengedepankan kehidupan diri sendiri dalam menulis. Kita mengutamakan tugas kuliah, kegiatan akademik daripada menulis kisah hidup dan pemikiran masing-masing. Kasarnya, hal ini bisa disebut sebagai perbuatan dosa terhadap diri sendiri.
Kebutuhan untuk menulis, seharusnya sama dengan kebutuhan untuk berbicara. Sehari puasa berbicara mungkin membuat hidup kurang bermakna tak lengkap seperti biasanya. Lalu jika seharian kita tidak menulis, apakah rasa yang sama muncul? Tidak. Entah kenapa orang cenderung melupakan menulis, dan menaruh kegiatan ini di urutan paling akhir.
Dalam kepercayaan apapun, keselarasan dan keseimbangan adalah hal yang harus dijaga. Filosofi yin&yang, feng shui elemen penyusun alam, mereka berbicara tentang hal ini. Ketimpangan dan ketidakselarasan hanya akan membuat ‘sengsara’. Dalam berkomunikasi dengan manusia lain, keseimbangan juga harus dijaga. Yang terjadi disaat ini kita mengedepankan bicara, mendengar dan membaca. Menulis kita acuhkan, tidak dianggap sebagai suatu hal yang penting atau’musiman’. Kemudian yang pasti akan terjadi adalah, rasa ‘sengsara’ dari kurang pemenuhan akan kebutuhan menulis. Otak hanya diprogram untuk mendengar dan membaca sehingga kita lebih mahir berbicara. Padahal, bicara saja tidak cukup bagus.
Mahir berbicara memang membuat kita lebih mudah menyampaikan pesan. Tapi ketimpangan komunikasi (hanya berbicara dan kurang menulis) menyebabkan kita berbicara tidak lagi untuk menyampaikan pesan, cenderung menipu, memanipulasi dan menguasai orang lain. Kita ‘pintar’ dalam artian tertentu, tapi digunakan untuk ‘minteri’ orang lain.
Menulis itu melatih kesabaran. Dia menuntut kita berpikir sedikit panjang dalam menyampaikan pesan daripada saat kita berbicara. Orang cenderung berpikir pendek ketika berbicara. Ketika menjadi suatu watak, spontanitas bukanlah suatu hal yang positif lagi. Kemudian kalau setiap orang berwatak demikian, pikiran pendek tentu akan mengubah dunia. Dunia akan menjadi ‘pendek’.
Menulis memang akan memaksa kita berpikir panjang. Jarang sekali kita menemukan istilah ‘spontan menulis’, karena memang itulah tabiat menulis. Kadang kita menemukan suatu situasi yang menempatkan berpikir panjang dalam kolom ‘jelek’. Kalau menyangkut hal ini kita harus ingat prinsip keseimbangan kembali, spontanitas yang terlalu mendominasi itu buruk. Spontanitas dan berpikir panjang harus seimbang dalam penerapannya.
Tulisan yang jelek, alur yang maju mundur, idea yang terlalu menyebar, focus penulisan yang tidak jelas. Dari menulis sebenarnya kita mendapat banyak masukan dalam memperbaiki diri. Tulisan melambangkan pikiran kita, karena dalam proses menulis kita berpikir, dan proses ini berlangsung sangat panjang. Ketika ingin tahu seberapa cemerlang pikiran kita, tengoklah tulisan kita. Masih buruk kah? Melatih pikiran itu banyak caranya, tapi hanya lewat menulis saja kita bisa memetakan ide, mengatur alur pikiran. Menulis itu tidak sulit, dan perlu untuk kita jadikan kebiasaan tentunya. Lakukanlah dari hal terkecil, menulis ide anda sendiri dalam kalimat-kalimat kecil. Kita tidak harus menciptakan sebuah novel atau prosa kok kalau sedang mencoba untuk menulis :D

0 komentar:

Post a Comment

 
Back to top!