Ayahku seorang kuli. Kerjanya serabutan, gajinya tak menentu. Ada pekerjaan kami makan, tidak ada pekerjaan kami berhutang. Mandor bapakku kurang lebih sama, dan kami pun sama-sama mengalami hidup yang sama. Baik kuli maupun mandornya, bekerja keras agar tetap dapat makan. Semuanya hampir sama.
Dari tubuhnya yang keras dan berotot itu keluar bau
‘lelaki lelah’. Di sore hari ayahku pulang, di boncengannya ada beragam
alat-alat. Alatnya dibiarkan, dan bersegera mandi dan kemudian beliau melepas
lelah dengan bersantai meminum teh. Kalau capeknya berlebihan, jemariku yang
kecil ini beliau pinjam untuk memijat pundak, tangan, dan bagian lain yang
pegal. Hanya pada hari sabtu raut wajahnya sumringah, kuli dibayar mingguan
tiap hari itu.
Karena uang yang dihasilkan tidak begitu banyak,
aku diajarkan untuk menabung. Kebutuhan sangat mepet, jika tidak berhati-hati
mengatur maka minggu berikutnya kami akan kesulitan. Ayahku tidak pernah
membeli barang yang tidak penting meskipun beliau suka. Ayahku selalu
mengingatkan ibuku apa-apa saja yang memang menjadi tujuan ketika belanja di
supermarket. Saat itu aku benar-benar
belajar menghargai uang dari ayahku.
Mungkin ayahku bukan ayah yang baik. Waktu kecil,
ketika diajak ke kota hanya untuk jalan-jalan, ayahku tidak pernah membelikan
mainan. Mobil, robot, dan tembakan mainan itu beragam warnanya dan sangat
bagus untuk dimainkan. Uang ayahku tidak selalu lebih untuk membelikanku
mainan. Tapi ayahku hebat, beliau selalu bisa meluangkan waktunya untuk
membuatkan mainan untukku, entah itu ketapel atau mobil-mobilan kayu. Aku
tidak pernah bersedih hanya karena ayahku tidak membelikan mainan.
Ayahku selalu ingin menjadikan anaknya seorang
atlet, setidaknya ya menjadikan anak yang pintar dalam olahraga. Beliau
sering menceritakan masa mudanya, begitu ia sangat disayang guru olahraganya
waktu sekolah dulu. Ayahku bercerita ketika pelatihnya selalu memberikan
telor ayam kampung sehari sebelum pertandingan dimulai. Begitu hebat ayahku
dalam urusan olahraga, semua saudarinya juga bercerita demikian. Jauh berbeda
dengan aku.
Ayahku memilki seorang anak yang kurus, lemah
gemulai, dan kurang cekatan. Ketika ayahku bercerita ini itu, terasa sekali
ayahku ingin aku menjadi anak yang sama seperti masa mudanya. Cekatan,
terampil, dan begitu pintar dalam olahraga harapannya padaku. Aku tumbuh
tidak sesuai dengan harapan ayahku yang implisit itu. Namun ayahku begitu
sumringah ketika mengetahui aku dipilih untuk lomba cerdas cermat di
kecamatanku. Sungguh sama seperti sumringahnya beliau ketika bercerita
tentang masa mudanya dulu. Satu hal yang aku tahu, ayahku sayang padaku apa
adanya.
Ayahku pintar sekali dalam matematika. Ketika
mengajari anaknya yang begitu bebal dalam bidang itu, batas sabarnya tengah
diuji. Tak jarang ayahku marah-marah ketika aku tak kunjung mengerti akan
matematika yang tengah ia ajarkan. Mungkin begitu gampang dalam perspektif
ayahku, namun begitu sukar di dalam perspektifku. Dulu aku berkata ‘aku tidak
suka matematika, yah’, beliau hanya menatapku dengan tatapan kecewa. Sejak
saat itu aku tidak berani mengatakan hal itu lagi. Pelajaran matematika pun
menjadi ajang tes kesabaran seoarang ayah dan anak.
Ayahku bukan muslim yang baik. Beliau tidak pernah
sembahyang lima waktu. Tidak pernah beliau mengajakku ke masjid tiap hari
jum’at. Waktu aku masih mengaji, itu juga kakekku yang mengantar ke masjid.
Ayahku mengajari islam padaku dengan caranya sendiri. Beliau tidak pernah
meninggalkan puasa meskipun pekerjaannya begitu berat. Beliau selalu
bersedekah meskipun gajinya kecil. Beliau selalu mendahulukan beras untuk
zakat daripada beras untuk membuat ketupat waktu lebaran. Pernah waktu ayahku
berpuasa, beliau terpaksa membatalkan puasa karena kerjanya yang sangat
berat. Entah kenapa aku melihat itu menjadi sangat bersedih.
Sebagai anak, terkadang kita menginginkan ayah yang
keren. Wajar memang, namun perasaan tersebut harus bertahan untuk sementara.
Ayah bisa menjadi tokoh inspirator, idola, panutan, guru, sahabat, sosok yang
sangat kita agungkan pada akhirnya. Kerap kita memaksakan kehendak, ingin
ayah kita ini dan itu, bersikap ini dan itu. Hal ini bisa saja melukai hati
ayah, tanpa kita tahu sebelumnya. Ayah juga masih manusia, kita harus
memperhatikan pula perasaan beliau.
|
January 19, 2012
Related Posts
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment