Searching...
January 19, 2012

Ketika seorang ayah dan anak lelakinya begitu berbeda




Ayahku seorang kuli. Kerjanya serabutan, gajinya tak menentu. Ada pekerjaan kami makan, tidak ada pekerjaan kami berhutang. Mandor bapakku kurang lebih sama, dan kami pun sama-sama mengalami hidup yang sama. Baik kuli maupun mandornya, bekerja keras agar tetap dapat makan. Semuanya hampir sama.
Dari tubuhnya yang keras dan berotot itu keluar bau ‘lelaki lelah’. Di sore hari ayahku pulang, di boncengannya ada beragam alat-alat. Alatnya dibiarkan, dan bersegera mandi dan kemudian beliau melepas lelah dengan bersantai meminum teh. Kalau capeknya berlebihan, jemariku yang kecil ini beliau pinjam untuk memijat pundak, tangan, dan bagian lain yang pegal. Hanya pada hari sabtu raut wajahnya sumringah, kuli dibayar mingguan tiap hari itu.
Karena uang yang dihasilkan tidak begitu banyak, aku diajarkan untuk menabung. Kebutuhan sangat mepet, jika tidak berhati-hati mengatur maka minggu berikutnya kami akan kesulitan. Ayahku tidak pernah membeli barang yang tidak penting meskipun beliau suka. Ayahku selalu mengingatkan ibuku apa-apa saja yang memang menjadi tujuan ketika belanja di supermarket.  Saat itu aku benar-benar belajar menghargai uang dari ayahku.
Mungkin ayahku bukan ayah yang baik. Waktu kecil, ketika diajak ke kota hanya untuk jalan-jalan, ayahku tidak pernah membelikan mainan. Mobil, robot, dan tembakan mainan itu beragam warnanya dan sangat bagus untuk dimainkan. Uang ayahku tidak selalu lebih untuk membelikanku mainan. Tapi ayahku hebat, beliau selalu bisa meluangkan waktunya untuk membuatkan mainan untukku, entah itu ketapel atau mobil-mobilan kayu. Aku tidak pernah bersedih hanya karena ayahku tidak membelikan mainan.
Ayahku selalu ingin menjadikan anaknya seorang atlet, setidaknya ya menjadikan anak yang pintar dalam olahraga. Beliau sering menceritakan masa mudanya, begitu ia sangat disayang guru olahraganya waktu sekolah dulu. Ayahku bercerita ketika pelatihnya selalu memberikan telor ayam kampung sehari sebelum pertandingan dimulai. Begitu hebat ayahku dalam urusan olahraga, semua saudarinya juga bercerita demikian. Jauh berbeda dengan aku.
Ayahku memilki seorang anak yang kurus, lemah gemulai, dan kurang cekatan. Ketika ayahku bercerita ini itu, terasa sekali ayahku ingin aku menjadi anak yang sama seperti masa mudanya. Cekatan, terampil, dan begitu pintar dalam olahraga harapannya padaku. Aku tumbuh tidak sesuai dengan harapan ayahku yang implisit itu. Namun ayahku begitu sumringah ketika mengetahui aku dipilih untuk lomba cerdas cermat di kecamatanku. Sungguh sama seperti sumringahnya beliau ketika bercerita tentang masa mudanya dulu. Satu hal yang aku tahu, ayahku sayang padaku apa adanya.
Ayahku pintar sekali dalam matematika. Ketika mengajari anaknya yang begitu bebal dalam bidang itu, batas sabarnya tengah diuji. Tak jarang ayahku marah-marah ketika aku tak kunjung mengerti akan matematika yang tengah ia ajarkan. Mungkin begitu gampang dalam perspektif ayahku, namun begitu sukar di dalam perspektifku. Dulu aku berkata ‘aku tidak suka matematika, yah’, beliau hanya menatapku dengan tatapan kecewa. Sejak saat itu aku tidak berani mengatakan hal itu lagi. Pelajaran matematika pun menjadi ajang tes kesabaran seoarang ayah dan anak.
Ayahku bukan muslim yang baik. Beliau tidak pernah sembahyang lima waktu. Tidak pernah beliau mengajakku ke masjid tiap hari jum’at. Waktu aku masih mengaji, itu juga kakekku yang mengantar ke masjid. Ayahku mengajari islam padaku dengan caranya sendiri. Beliau tidak pernah meninggalkan puasa meskipun pekerjaannya begitu berat. Beliau selalu bersedekah meskipun gajinya kecil. Beliau selalu mendahulukan beras untuk zakat daripada beras untuk membuat ketupat waktu lebaran. Pernah waktu ayahku berpuasa, beliau terpaksa membatalkan puasa karena kerjanya yang sangat berat. Entah kenapa aku melihat itu menjadi sangat bersedih.
Sebagai anak, terkadang kita menginginkan ayah yang keren. Wajar memang, namun perasaan tersebut harus bertahan untuk sementara. Ayah bisa menjadi tokoh inspirator, idola, panutan, guru, sahabat, sosok yang sangat kita agungkan pada akhirnya. Kerap kita memaksakan kehendak, ingin ayah kita ini dan itu, bersikap ini dan itu. Hal ini bisa saja melukai hati ayah, tanpa kita tahu sebelumnya. Ayah juga masih manusia, kita harus memperhatikan pula perasaan beliau.
Memilliki seorang ayah adalah suatu nikmat yang tiada tara. Sebagai seorang anak, rasa syukur yang paling besar adalah ketika kita bisa melihat ayah menatap dan tersenyum, bangga dengan keadaan yang kita raih.

0 komentar:

Post a Comment

 
Back to top!