Searching...
November 29, 2017

Lame diary : lame apps

Tinder hampir sama kaya skripsi: pengalaman dan kenangan yang didapat tidak selalu sama pada tiap orang. Namanya skripsi ya, buat mahasiswa yg memang pinter meneliti dan pinter nulis, ya kenangannya so so aja kaya biasanya doi nulis; buat mahasiswa yang dosen pembimbingnya susah ditemuin, nulisnya buntu pake acara 2 tahun baru selesai, ya kenangannya penuh warna. Kalo tinder? Mungkin bedanya tergantung outputnya yha~

Seobservasi ane sama pandangan masyarakat tentang tinder, so far mainan tinder dianggap sebagai kegiatan yg taboo: tinder hanya digunakan oleh orang yg desperate jomblo maupun orang yg desperate kebelet hook up ena-ena. Apa dua-duanya salah? Tentu tidak, karena tindermu otoritasmu; jangan biarkan orang lain menentukan apa yang mau ente lakukan. Konsep tabu agaknya kurang relevan dengan perkembangan teknologi jaman sekarang, karena pada dasarnya tinder adalah semacam gojek: mempertemukan 2 pihak yang sama sama butuh.

Pengalaman seseorang soal tinder menurut ane tergantung sama output-nya: ketika output hasil mainan tinder itu sesuai ekspektasi, maka kenangannya juga baik and vice versa. Ini bukannya bias review ya, lebih ke penilaian terhadap tinder itu subjektif tergantung pengalaman pengguna yang sama sekali gak ada hubungannya dengan fitur/layanan yg ada di tinder. Ketika seseorang menanyakan 'eh gimana pengalaman main tinder?' gak ada responden yang jawab 'ui nya bagus, enak dipake ya' atau 'fasilitas chatnya hambar gitu-gitu doang'. Responden lebih menjawab tentang hasil menggunakan tinder yang agaknya ada baper-bapernya gitu.

Responden lebih condong menjawab pertanyaan'eh gimana pengalaman main tinder?' dengan suatu jawaban yang terdapat sedikit baper penggunanya tergantung hasil dari mainan tinder. Salah seorang responden yang hasil mainan tinder adalah pasangan (suami) menggambarkan pengalaman mainan tinder sebagai suatu hal yang positif: berkat tinder, kudapatkan jodoh. Responden menceritakan dengan sangat positif bagaimana tinder merubah hidupnya seperti perubahan yg dibawa oleh negara api yang menyerang.

Di sisi lain, responden yg 'gagal' mainan tinder juga sama dalam memberikan pengalaman mainan tinder: ada baper-bapernya dikit gitu. Responden menggambarkan mainan tinder itu sama dengan Sisyphus, sebuah perjalanan yang mau bolak balik seberapapun akhirnya sama juga : gagal. Entah gagal ada yg match , gagal meet up, gagal cari fetish dll dll semuanya dianggap gagal. Padahal ya, gagal gak selalu membawa berita buruk, bisa aja gagal mainan tinder itu memang harusnya dapat pasangan dari jalan lain, ta'aruf misalnya.

Tapi memang yang namanya pengalaman menggunakan tinder itu amat personal dan subjektif, meskipun ini merupakan bias namun tidak ada salahnya menjadi subjektif dan personal. Subjektifitas membawa kita kepada tanah yang lebih dalam dari sekedar data, kepada emosi, sikap, dan perilaku seseorang. Karena manusia, mendambakan kelembutan dan anti kekerasan.

Responden didapat dari twit habibthink

0 komentar:

Post a Comment

 
Back to top!